Sosok Cangik dan Limbuk dan dialog-dialognya tentunya mencerminkan pandangan-pandangan Jawa patriarkis itu tentang perempuan yang sekaligus wong cilik. Secara fisikal sosok Cangik dan Limbuk digambarkan sangat tidak menarik. Tidak ada nilai estetikanya, baik dari ukuran tubuh, proporsi tubuh dengan leher/kepala, suara, tingkah laku maupun keinginan. Tubuh yang kurus kering dengan leher panjang menjulur atau gemuk kuat secara estetika kurang bernilai apalagi jika untuk perempuan yang sering hanya dinilai ketubuhannya saja dalam masyarakat patriarki. Bagi perempuan, suara yang kecil atau suara yang seperti laki-laki bukanlah jenis suara yang indah. Tingkah laku yang kenes dan keinginan Limbuk untuk kawin jelas-jelas menggambarkan persepsi laki-laki/patriarki terhadap perempuan. Bahwa perempuan itu tingkah lakunya ya genit/kenes itu dan cita-citanya ya kawin. Pekerjaan perempuan itu ya bersolek untuk mempercantik diri atau kalau sebagai emban ya tugasnya menyisir atau membantu berdandan bendhara putrinya. Suatu deskripsi gender perempuan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sosok fisikal Cangik Limbuk yang tidak estetis dengan tingkah laku, keinginan dan pekerjaan sesuai dengan gender perempuan menunjukkan persepsi laki-laki/patriarki terhadap perempuan yang wong cilik. Jadi seperti itulah wong cilik perempuan. Sosok Cangik-Limbuk ini kontras sekali dengan sosok putri-putri istana yang estetis semuanya, tubuh, suara, tingkah laku dan penampilan. Kehadiran sosok Cangik dan Limbuk ini berfungsi sebagai kontras yang mendukung keindahan dan keluhuran putri-putri keraton. Seperti Beauty and the Beast.
Perempuan dalam pembangunan
Dalam dialog Cangik dan Limbuk, pesan-pesan pembangunan yang berupa “ide-ide pembangunan dari kebijaksanaan pemerintah untuk disebarluaskan … dengan tujuan mendapatkan partisipasi” (Waluyo, 1994: 9) disampaikan oleh Cangik kepada Limbuk. Disini Cangik mengambil alih peran dalang sebagai wakil superstruktur. Dari sudut psikoanalisis Cangik adalah superego yang menyuarakan ide-ide masyarakat sedangkan Limbuk adalah representasi dari id yang perlu dikontrol dan diperkenalkan dengan gagasan-gagasan tentang pembangunan. Limbuk adalah masyarakat sedang Cangik adalah pemerintah.
Pesan pemerintah tentang KB (Keluarga Berencana) misalnya. Pesan ini diucapkan oleh Cangik menanggapi keinginan Limbuk untuk kawin: “Sarate suk yen omah-omah darbe putu kudu dirancang sithik wae aja akeh-akeh” (Purwadi, Wahyu Makutharama: 32). Pesan ini disampaikan secara tersirat, tidak ada kata-kata KB disitu tapi masyarakat diingatkan kembali akan pentingnya jumlah anak/cucu yang sedikit. Karena ini pesan pemerintah dan Cangik hanya menyuarakan maka disini Cangik, sebagai perempuan, bukanlah penggagas hanya pendukung gagasan pemerintah yang notabene simbol laki-laki. Jadi perempuan hanya pendukung/pelaksana gagasan. Dari perspekstif feminisme, Limbuk mengalami ‘keterasingan’ terhadap diri sendiri. Jumlah anakpun bukan wewenang dia untuk menentukan tapi wewenang pemerintah dan pemerintah sama dengan patriarki. Jadi begitulah perempuan dalam pembangunan dari perspektif feminisme.
Masih menyikapi keinginan Limbuk yang ingin cepat-cepat menikah di usia 18 tahun, Cangik mengatakan: “Durung cukup ndhuk, miturut dhawuhing para narapraja paling ora bocah wadon kang nedya mangun bebrayan kudu wis genep rong puluh tahun…” (Purwadi, Babat Wanamarta: 45-46) dan diteruskan dengan kesetujuannya atas ide pemerintah tentang batas minimal usia boleh kawin bagi warganya. Jika dilihat dari sudut pandang Feminisme kasus ini menunjukkan bahwa dalam relasi patriarki dan perempuan, perempuan menjadi obyek sasaran ide laki-laki karena ia hidup di masyarakat Jawa yang patriarkis. Dalam kasus ini laki-laki muda juga menjadi sasaran ide pemerintah ini, karena laki-laki muda dianggap masih dibawah kontrol belum memegang kontrol.
Ide pemerintah tentang budaya baca secara tersirat terkandung dalam ucapan Cangik pada Limbuk: “ Genah wis cetha ngono kok ngger, kowe kok lagi ngerti, mula ya sok tahu maca koran barang ngono lho …” (Subono, Kikis Tunggarana: 31) saat menanggapi kebingungan Limbuk tentang peristiwa di sekitarnya. Budaya baca adalah budaya laki-laki. Dari kacamata feminisme hal ini menunjukkan bahwa pemerintah/patriarki menganggap bahwa perempuan perlu ditumbuhkan/ditingkatkan budaya bacanya. Jadi patriarki lah yang memikirkan dan menentukan apa yang dianggapnya diperlukan oleh perempuan. Dengan kata lain patriarki tidak membiarkan perempuan untuk menentukan/memikirkan apa yang dikehendaki dan atau dibutuhkannya.
Sosialisasi tentang profesi Polwan pada masyarakat dapat dilihat dari perkataan Cangik: “ … kelingan wewentehan welinge swargi bapakmu mangkene! Nyai suk nek anakmu lair wadon, mongen sing gemati, yen wis gedhe lebokna dadi Polwan, ngono” (Purwadi, Kresna Dutha: 29). Jika dibaca dengan menggunakan kacamata feminisme, ini adalah pesan bapak dan bapak adalah simbol patriarki, jadi ini adalah keinginan patriarki terhadap perempuan, tetapi apakah ini keinginan perempuan? Dari sini tampak bahwa pesan bapak sebelum anak perempuan lahir merupakan kiasan dari keinginan patriarki terhadap profesi yang bisa dikerjakan perempuan bahkan sebelum perempuan (generasi berikutnya) itu ada. Ditinjau dari perspektif feminisme yang hilang disini adalah negosiasi, diskusi, tawaran bukan ketentuan bagi perempuan.
Kasus-kasus berikut masih berkaitan dengan pembangunan/kemajuan tetapi sasarannya tidak khusus perempuan (diwakili Limbuk, misalnya). Yang menyebabkan kasus ini masih relevan untuk dibicarakan disini adalah karena yang menyuarakan itu perempuan (Cangik), sedang yang disuarakan adalah ide-ide dalang yang kritis karena pendidikannya yang tinggi. Misalnya ketika menerangkan khasiat nginang:
… nginang ki le baku suruh, bumbune injet, gambir. Lha racikan telung prekara iku sawise diteliti uga ana paedahe, tlutuhing suruh duweni kasiat mbanterake wetune zat sing gelis ngrapetake kulit sing tatu, ya mbuh kuwi ing jeron usus utawa jaban daging, injet kuwi zat kapur gawe kuwating balung, gambir kuwi gawe keseting kulit ngilangake lara weteng sing jalaran kreweking wadhuk sarta usus. Hara endi kang ora mengku kasarasaning awak. Mung bae saiki wis diwalik rupa awujud banyu sing diombe utawa tablet (Suratno, Pandhawa Nugraha: 25)
Meskipun secara tidak langsung, dalam kata-kata Cangik di atas juga tersirat budaya laki-laki yaitu budaya ‘meneliti’ yang berhubungan erat dengan dunia gagasan yang hasilnya diterangkan pada perempuan (Limbuk) dan juga pada yang lain yang jauh dari dunia penelitian dan ide.
Juga ketika Cangik secara kritis melihat fenomena rokok dan merokok dari sisi lain:
… Aku ya ora wenang maido wong ya dhedhasar panaliti, lha ning yen kabeh mau manut dokter, malah sok senjata makan tuan. Dokter nganggur saking ndene ora ana wong lara, petani sing nandur bako mati pangane, buruh nglinting rokok nganggur, pabrike tutup, pajege marang negara suda (Suratno, Pandhawa Nugraha: 26)
Secara main-main kata kata Cangik ini bisa dilihat sebagai pesan sponsor (karena yang nanggap atau yang memberi sponsor pabrik rokok) atau sebagai justifikasi pribadi karena dalangnya perokok berat. Akan tetapi diluar pikiran nakal ini tetap tampak bahwa perempuan bukanlah penggagas semua ini, semua ini adalah suara kritis laki-laki yang mengkritisi ide laki-laki-lain lewat perempuan. Jadi perempuan hanya sebagai konduktor saja.
Kecerdasan dalang yang disuarakan oleh Cangik juga muncul ketika menganalisa penyebab banjir:
… Kiwa tengen dalan wit-witane wis di bonsai, omahe epet-epetan akeh sing kaul nggunakake semen. Latar disemen, lurung disemen, dalan disemen, ya bener kuwi ora jeblog yen pinuju mangsa udan. Ning ya ana ninge nduk, coba pikiren. Yen pinuju udan, banyu sing tiba ing payon, saka tritisan tampani jubin, terus neng kalenan, mula ya wis samesthine yen dadi banjir bandhang, kuwi sing salah wonge apa udane (Suratno, Pandhawa Nugraha: 30)
Cangik hanya menyuarakan saja ide dalang yang mengkritisi akibat buruk pembangunan yang membabi buta tidak selaras dengan alam. Cangik hanya menerangkan pada Limbuk (perempuan) sekaligus pihak-pihak lain yang tidak memahami hal itu.
Dari ketiga kasus diatas tampak bahwa Cangik hanyalah corong saja, perpanjangan mulut saja, bukan penggagas ide. Sehingga tampak bahwa dalam masyarakat Jawa-patriarkis perempuan ditempatkan sebagai pengumandang gagasan laki-laki saja, dengan kata lain perempuan dianggap tidak mempunyai gagasan sendiri. Paling-paling perempuan di posisikan sebagai konduktor atau penyampai saja tidak lebih dari itu. Perempuan benar-benar termarjinalisasikan dalam pembangunan. Perempuan hampir-hampir tidak mendapat posisi dalam pembangunan.
Perempuan dalam kehidupan sosial.
Mengingat bahwa dalang yang memberi ‘nyawa’ pada Cangik dan Limbuk adalah pembawa suara masyarakat Jawa-patriarki, maka berdasarkan sudut pandang feminisme dialog Cangik dan Limbuk dapat dimaknai sebagai berikut:
Ada pembedaan area berdasarkan gender dalam masyarakat Jawa-patriarki, seperti tersirat dalam dialog dibawah ini (Purwadi, Parikesit Winisudha: 29):
Limbuk : “Isih gawang-gawang katon ana pojoking atiku, yaiku gegambaraning perang
gedhe, perang gegempuran kang sanyata maksih nunggal kulit daging.”
Cangik : “Is ora sah dipikir kuwi dudu garapanmu, nduk.”
Kata-kata Cangik ‘itu bukan urusanmu’ ketika Limbuk menyinggung tentang perang menunjukkan bahwa perang bukan dunia perempuan. Perang adalah ciri khas dunia patriarki yang cenderung menyenangi hierarki dan penindasan sementara dunia matriarki lebih cenderung pada kemerdekaan dan kesetaraan (Fromm, 2002: 23-26).
Sementara itu dialog Cangik dan Limbuk juga menegaskan atribut kekuasaan laki-laki yang seringkali melalui cara apapun berusaha didapatkan atau dipertahankan. Atribut kekuasaan ini seringkali juga menjadi penyebab kejatuhan laki-laki serta kesengsaraan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa dan tidak ikut menikmati kekuasaan itu.
Limbuk : “Ing atase priyayi-priyayi luhur, mung prekara lemah bae kok didadekake
pasulayan ya mak?
Cangik : “Lho, aja dumeh mung prekara lemah nduk, kuwi gawat tak kandhane.
Lemah, bojo, wanita, drajat, pangkat sarta kalungguhan oh …, kuwi prekara
kang ora baen-baen nduk. Ana wewangsone para sepuh, bebasane sadumuk
bathuk sanyari bumi kae pancen bener …. ana kang dilabuhi wutahing getih
kang pungkasan ya mung merga saka prekara kuwi mau ngger” (Subono,
Kikis Tunggarana: 33).
Tanah, isteri, perempuan, pangkat serta kedudukan memang menjadi lambang kehormatan, kekuasaan dan harga diri laki-laki yang pantang diusik pihak lain. Jika terjadi nyawa yang menjadi taruhannya.
Pembedaan area yang bersifat gender juga tambak dalam kata-kata Cangik kepada Limbuk (Subono, Kikis Tunggarana: 31):
Cangik : “… menggalihake putrane anggone padha pasulayan. Piye wae tumindaking
anak kuwi bakal nyangking asmane wong tuwa. Bebasan: “Anak polah bapa
kepradhah” ngono kae”.
Disini yang menarik adalah kata bapa (orang tua laki-laki), bukan bapa-biyung (orang tua laki-laki dan perempuan). Yang tersirat adalah pertama, jika kata ‘bapa’ tidak mencakup ‘biyung’ maka berarti masalah tanggung jawab (kepradhah) adalah masalah laki-laki, bukan perempuan. Yang kedua jika dalam kata ‘bapa’ sudah tercakup kata ‘biyung’ berarti ‘biyung’ tidak punya eksistensi sendiri, ‘biyung’ hanyalah bagian dari ‘bapa’ dan cukup hanya diwakili ‘bapa’ saja untuk masalah-masalah serius dan diluar domain perempuan.
Selain pembedaan area berdasarkan gender, ada juga pembedaan peran berdasarkan gender. Hal ini tampak dalam cerita Limbuk pada Cangik berikut ini (Subono, Kikis Tunggarana: 32-33):
Limbuk : “… Puskesmas …. Aku dipriksa pak dokter,….Mbak Ana perawat
pembantune pak dokter ….”
Berdasarkan gender yang dibentuk secara sosial dan kultural oleh masyarakat patriarki, dokter adalah profesi untuk laki-laki sedangkan perawat adalah profesi untuk perempuan. Ada marginalisasi peran perempuan dalam bidang kesehatan (Wacjman, 1991: 7). Peran-peran yang menantang, membutuhkan tanggung-jawab yang besar diperuntukkan kaum laki-laki (insinyur, pilot) sedangkan peran-peran yang membutuhkan kesabaran tapi tidak terlalu menantang (guru, penari) dianggap cocok untuk perempuan karena perempuan sering dikaitkan dengan emosi sedangkan laki-laki dengan akal.
Pemberian peran tipikal yang bukan posisi kunci di suatu komunitas kepada perempuan, juga terwakili dalam dialog Cangik dan Limbuk yang disusul dengan dialog tentang tugas-tugas yang dianggap sesuai oleh masyarakat Jawa-patriarki untuk peran seperti itu (Sarwanto, Sesaji Raja Suyo: 30-33):
Limbuk : “Kepengin banget aku arep nggladhi dadi waranggana yung.”
Cangik : “Waranggana ki saka tembung wara lan anggana. Wara ki wanita, anggana ki
ijen, wanita ijen sing ana tengahing gamelan …. Dadi pesindhen ki pedomane ana patang prakara …. Kang sinebut: guna, suara, bandha lan rupa …. Guna, dadi pesindhen ki kudu mumpuni, myang nut kudu apal, nyang gendhing ya kudu nglothok, bangsa cengkok-cengkok ya kudu dikulinakake, gregel-gregel ya kudu diudi, sindhen ki yen ora isa nggregel, arang-arang payu tak kandhani, arepa suarane elek ki yen gregele krasa mesthi ora saba omah … Kuwi kagunan, kaping pindhone suara. Dadi waranggana kudu bisa ngolah swara, ora kerep-kerep gerok, mula wadine kudu kerep gurah …. Kaping telu bandha …. Dadi sindhen nggone dandan kudu bisa matut, sanadyan ta bahane regane murah, yen bisa matut dadi lan becike … kasusilane ya kudu genep, …. Kasusilane kudu direksa, aneng tengahe pasamuan ya kudu tajem, mripate ora plerak-plerok, yen lenggah ya kudu timpo, ora pareng slonjor …. Pesindhen kerep-kerep ngadek ki ya ora ilok …. Sindhene metu menyang mburi hara, kuwi nek isa ya kudu disingkiri, diampet … kaping pate rupa. Dadi waranggana kudu bisa dandan, sukur kerep make-up, kulina saba salon, yen make up ya kudu diatur, aja kekandelen ya aja ketipisen.”
Tampak jelas disini peran yang diberikan pada perempuan berdasarkan gender, yaitu waranggana atau pesindhen atau sindhen. Dalam komunitas pagelaran wayang kulit yang terdiri dari dalang, niyaga (penabuh gamelan) dan sindhen (penyanyi), posisi sindhen bukan posisi utama. Yang pegang kendali adalah dalang, dalanglah yang mengatur sindhen bukan sebaliknya dan dalang umumnya, dari generasi ke generasi, adalah laki-laki.
Sindhen berada di tengah-tengah lelaki (penabuh gamelan) dan fungsinya adalah untuk menghibur penonton yang juga mayoritas laki-laki dan untuk menambah semarak suasana pertunjukan wayang kulit. Sesuai dengan perannya yang diharapkan oleh penonton yang mewakili masyarakat Jawa-patriarkis itu, sindhen mempunyai tugas/kewajiban tertentu. Sindhen dihargai karena 4 (empat) hal, yaitu bermanfaat (maksudnya menguasai lagu dan iramanya), mempunyai suara yang bening, bisa berdandan dan bertingkah laku yang sesuai dengan norma susila dan bisa merias wajah. Semua syarat ini sesuai dengan keberadaan sindhen yang hanya dinilai dari aspek ketubuhannya saja, tidak lebih dari itu. Sindhen tidak diharapkan pintar apalagi genius. Berbahaya. Sindhen memang ditempatkan di posisi kedua setelah dalang, dengan kata lain sindhen (perempuan) sebagai the second sex, dalang (laki-laki) sebagai the first sex, the leader.
Sementara itu, beberapa hal yang harus atau pantang dilakukan sindhen jelas merupakan tuntutan penonton (yang Jawa-patriarkis). Tentang ‘gurah’ misalnya, memang dipercaya bisa membuat suara menjadi bening sehingga banyak dilakukan oleh penyanyi. Sebenarnya ini sama saja dengan diet, senam, luluran, atau sedot lemak yang fungsinya untuk menjaga aset ketubuhan perempuan. Bisa juga hal ini dipandang sebagai semacam pemerkosaan terselubung atas tubuh perempuan demi kepuasaan (mata) laki-laki. Sindhen jelas dilihat oleh penonton (yang kebanyakan) laki-laki, semacam menjadi santapan mata, akan tetapi sindhen tidak boleh ‘plerak-plerok’ (melirik kesana-kemari). Jadi kalau dengan dalang sinden diposisikan dibawahnya, dengan penontonpun sama. Sindhen hanya jadi obyek (untuk dilihat laki-laki) tapi tidak boleh balik melihat penontonnya. Sementara tuntutan untuk ‘lenggah timpo’ (duduk di lantai dengan menduduki kedua kaki) bisa dimaknai sebagai ‘pemasungan’ atas kebebasan perempuan. Dengan kebaya, setagen, kain panjang dan ‘lenggah timpo’ selama berjam-jam lengkaplah pemasungan simbolik itu. Selain itu sindhen masih diharapkan untuk menahan kalau ingin ‘kebelakang’. Secara simbolis ini bisa dimaknai sebagai tuntutan masyarakat Jawa-patriarki kepada perempuan yaitu perempuan (yang baik) harus bisa menahan diri dan keinginan, tidak langsung mencari pemenuhan atau pelepasan keinginan.
Dialog Cangik dan Limbuk juga mengandung tuntutan norma/nilai masyarakat Jawa-patriarki terhadap perempuan. Misalnya tampak kata-kata Limbuk (Suratno, Pandhawa Nugraha: 25): “Wong wedok kok udut, ….” Sebenarnya kalau dilihat dari kemampuan, laki-laki dan perempuan sama-sama bisa udut (merokok), tapi tuntutan norma berdasarkan gender dari masyarakat Jawa-patriakis tidak menganggap pantas bagi perempuan untuk ‘udut’. Dengan kata lain perempuan baik-baik tidak ‘udut’. Demikian pula pada kasus ketika Limbuk menjadi ‘tukang potang’ (tukang kredit) dan dikomentari Cangik sebagai berikut (Purwadi, Kresna Duta: 30): “O, Ngger, ngono iku tindak kang kurang utama, dicacat dening kawula ….” Komentar Cangik ini jelas merupakan cerminan norma/nilai masyarakat Jawa-patriarki. Limbuk sebagai anak Tumenggung almarhum dianggap tidak etis melakukan pekerjaan semacam dagang yang biasanya dilakukan orang dari kelas sosial dibawahnya, apalagi kalau pekerjaan itu jelas-jelas meminta untung. Jadii ada hipokrisi dan kemunafikan disini. Perempuan tidak boleh bekerja independen tapi boleh jadi pembantu biar dependensinya besar pada kelompok aristokrat. Selain itu tidak etis jelas-jelas minta untung besar, tapi etis kalau minta untung secara halus seperti dalam berdagang apapun yang umumnya dijalani laki-laki. Bisakah ini dibaca sebagai menghilangkan independensi dan rival dagang dengan senjata moralitas?
Masih berhubungan dengan norma/nilai adalah kesadaran palsu yang ditanamkan pada perempuan oleh dan demi kepentingan/keuntungan masyarakat Jawa-patriarki. Keluhan Limbuk yang ingin kawin pada Cangik sangat mencerminkan hal ini (Purwadi, Babat Wanamarta: 45): “Hem lha kepiye no aku yung, mangka biyung ya pirsa janji tiba mangsa kalane sasi rame, etan, kulon, elor, kidul ana tarup kancaku siji mbaka siji padha kelong dadi nganten winengku ing priya, yung aku wedi yen dadi prawan kasep.” Disini khusus dua phrasa ‘dadi nganten winengku ing priya’ (menjadi penganten dimiliki laki-laki) dan ‘prawan kasep’ (gadis yang telat menikah) akan dibahas dari sudut perspektif feminisme. Mengingat dalanglah yang sebenarnya berbicara meskipun tampaknya Limbuk yang berbicara, maka dua phrasa itu bisa dimaknai sebagai keinginan masyarakat Jawa-patriarki yang dikemas dalam bentuk norma/nilai dan ditanamkan sebagai kesadaran palsu pada perempuan. Bagi masyarakat Jawa-patriarki menanamkan dependensi pada perempuan sangatlah penting. Jika perempuan tidak dibuat merasa tergantung pada laki-laki, hierarki yang merupakan ciri khas patriarki tidak akan terwujud. Maka perempuan dibuat merasa bahwa keinginan untuk dimiliki laki-laki adalah keinginan sadarnya yang sesuai norma. Perempuan perlu dibuat resah karena belum menikah, padahal yang resah sebenarnya laki-laki karena jika perempuan tidak punya keinginan cepat-cepat menikah maka perempuan akan mengalihkan perhatiannya pada bidang-bidang yang di klaim sebagai bidang laki-laki, misalnya sekolah atau pekerjaan/karir. Dengan demikian akan terjadi kompetisi antara laki-laki dan perempuan, padahal yang diinginkan laki-laki adalah hierarki dan kontrol, bukan kompetisi.
Demikian juga keinginan Limbuk untuk cepat-cepat menikah (Purwadi, Babat Wanamarta): “Laeee-lae yung-yung aku ndang rabek-rabekna ta yung, aku selak ora betah.” dari perspektif feminisme bisa dimaknai dengan cara yang sama, Yang sebenarnya ingin cepat-cepat menikah dan tidak ‘betah’ adalah laki-laki. Sebenarnya laki-lakilah yang tidak bisa menahan libidonya, tapi karena keangkuhan untuk mengakui hal ini karena dipandang akan merendahkan laki-laki, maka hal ini di proyeksikan ke perempuan. Kesadaran palsu ini sangat efektif karena kemudian membuat banyak perempuan ingin cepat-cepat menikah, ‘winengku ing priya’ sehingga tidak menjadi ‘prawan kasep’. Kemandirian hilang, terciptalah dependensi dan terselamatkanlah dorongan libido laki-laki. Yang menjadi sasaran pemenuhan libido siapa lagi kalau bukan kelas dibawahnya, the second sex, perempuan.
Kesadaran palsu lain yang ditanamkan oleh masyarakat Jawa patriarki pada perempuan adalah lewat panggilan Cangik pada Limbuk (Purwadi, Wisanggeni Lahir: 25): “Anakku nduk bocah ayu ….” Kata-kata ‘nduk bocah ayu’ adalah kata-kata yang menghibur saja yang berfungsi hanya meredakan keresahan/membuat perempuan merasa tersanjung. Disebut kesadaran palsu karena kenyataannya tidak seperti itu (Limbuk tidak cantik sama sekali). Ketidak-puasan perempuan (dilambangkan dengan fisik Limbuk yang jelek) bila tidak diredakan dengan kesadaran palsu akan berbuntut pada tuntutan dan hal ini akan merepotkan patriarki. Kesadaran palsu juga tercermin pada nama-nama modern yang diberikan Cangik (patriarki) pada Limbuk (perempuan), yaitu “Eka Wati Yuli Astuti” (Purwadi, Wisanggeni Lahir: 25), “Aprelyanti (Purwadi, Parikesit Winisudha: 29), “Arumsari” (Purwadi, Babat Wanamarta: 44), “Tin Mekar Sari” (Purwadi, Bhanuwati Rabi: 21). Tujuannya adalah untuk membuat perempuan merasa modern, tidak ketinggalan dengan laki-laki, padahal sebenarnya kemodernan itu hanyalah dalam bentuk label saja, bukan esensinya, dan yang memberikan serta menempelkan label adalah laki-laki atau wakil laki-laki. Dengan kata lain, bagi masyarakat Jawa-patriarki kemodernan bagi perempuan diperbolehkan asal hanya sebatas kulit luar dan terkontrol. Kontrol adalah penting karena dengan kontrol kekuasaan tetap terjaga.
Dari perspektif feminisme juga tampak bahwa dalam masyarakat Jawa-patriarkis perempuan diposisikan untuk pasif, seperti tercermin dalam ucapan Limbuk (Subono, Kikis Tunggarana: 34): “… muga Gusti enggal paring pepadhang marang sinuwun …” dan kata-kata Cangik (Purwadi, Wahyu Makutharama: 33): “Ya nduk awan tumekane bengi si biyung tansah melu andedonga muga-muga sira antuk jodho wong utama ya ngger.” Perempuan digambarkan hanya berdo’a jika melihat/menghadapi masalah, tidak bertindak atau berkata-kata sebab bertindak atau berkata-kata dianggap wewenang khas laki-laki. Jadi ada pembedaan berdasarkan gender juga, perempuan pasif, laki-laki aktif dan memproduksi sesuatu (lewat tindakan/kata-kata).
Kepasifan perempuan juga tergambar dalam budaya bungkam. Perempuan memang sudah terkondisi untuk hanya ‘sendhiko dhawuh’ saja, tidak pernah dilatih untuk bertanya atau mempertanyakan. Bahkan kadang-kadang untuk mengiyakan secara verbal saja sulit bagi perempuan yang masih sangat terkungkung nilai. Tradisi membantah juga bukan diperuntukkan perempuan. Hal ini tampak pada dialog berikut (Purwadi, Wisanggeni Lahir: 26):
Cangik : “La piye ta nduk biyen ki piye, la kok kowe bisa pisah lan pacarmu sing
mbok tresnani.”
Limbuk : “Jane mung perkara sepele kok yung, dheweke iku mung njaluk
kepasthianku nanging uger dheweke takon mangkono aku ora bisa kumecap,
anjawab apa sing dadi pitakone pacarku. Mbok manawa dheweke rumangsa
ndak sepeleake mbanjur aku ditinggal ngono wae tanpa pesan dan kesan,
upama kabeh mau aku njawab iya, ngono wae mesthi wis dadi, bareng saiki
yung-yung aku bakal dijodhokake lan ponakane pakdhe ….”
Cangik : “Lha jane seneng apa ora ta, kowe karo ponakane pakdhemu kuwi.”
Limbuk : “Embuh yung aku lagi bingung.”
Disini tampak betapa untuk mengutarakan perasaan cinta atau menolak perjodohan yang diatur orang tua terasa sulit bagi perempuan. Sehingga meskipun menjalani keterpaksaan (dikawinkan dengan orang yang belum dikenalpun) sulit bagi perempuan untuk menolak. Internalisasi kepasifan dan kebungkaman bagi perempuan ini ujung-ujungnya merugikan perempuan sendiri seperti tersirat pada dialog Cangik dan Limbuk diatas. Disisi lain internalisasi kebungkaman/kepasifan perempuan ini memudahkan orang tua (patriarki) mewujudkan kehendaknya yang sebenarnya berupa pengejawantahan dari kekuasaan dan kontrol.
Sementara itu jika perempuan berusaha membantah (yang jarang terjadi) maka yang muncul adalah penegasan hierarki, seperti tampak pada dialog Cangik-Limbuk berikut ini (Purwadi, Wahyu Makutharama: 32) ketika Cangik berusaha menenteramkan keresahan Limbuk yang ingin segera kawin dengan nasehat-nasehat:
Limbuk : “Aes sembuh jeleh yung, tembung ya ngono kuwi is ora mutu, bakune ake
kepengin duwe jodho yung-yung.”
Cangik : “Nek dikandhani kok malah mberung karepe dhewe ki piye ta cah ki, jane kowe ki anakku pa mbokku? Ya yen wis ora kena ndakkandhani terus kepriye karepmu.”
Tampak bahwa Cangik yang mewakili patriarki (perempuan pendukung patriarki) merasa tersinggung posisi/kekuasaannya ketika Limbuk (lambang perempuan Jawa) merusaha membantah kata-kata Cangik.
Perempuan yang tidak punya tradisi membantah atau menuntut tetapi tidak merasa puas dengan keadaannya kemudian diposisikan untuk menggunakan dmekanisme pertahanan diri untuk menyelamatkan egonya yang terluka, seperti tampak pada ucapan Limbuk (Purwadi, Kresna Duta: 30): “… Mung olehmu ngandika kepengin selak ngudang putu iku, lan ora ana wong nakok-nakokake aku iki geseh karo kanyatan. Mangkene sejatine wis akeh para priya kang kepengin ngepek aku. Nanging aku sing durung gelem. Malah ana sing arep nyingseti barang yung, mung bae, aku durung tau matur biyung.” Kenyataannya, Limbuk belum pernah menikah atau dilamar orang. Jadi Limbuk menggunakan mekanisme pertahanan diri yang oleh Freud disebut ‘rasionalisasi’ yaitu mendistorsi kenyataan untuk menghindar dari kekalahan (Wolman, 1968: 145). Mekanisme pertahanan diri ini tidak menyelesaikan masalah tapi hanya sekedar membuat pemakainya lebih tahan terhadap ketidaknyamanan atau tiadanya pemenuhan keinginan.
Dari perspektif feminisme, keterangan Cangik tentang sejarah ‘sindhen’ dan kemampuannya menghanyutkan kayu jati besar untuk pembangunan Masjid Demak kepada Limbuk (Sarwanto, Sesaji Raja Suyo: 31):
Limbuk : “Dadi Sindhen ki bisa ngelekake kayu jati.”
Cangik : “Aja meneh kok kayu jati ora keliya, malah jaman saiki Lurah, Camat,
Wedana, akeh sing padha keli karo sindhen.”
Limbuk : “Yen yaga apa ya ana sing keli karo sindhen yung.”
Cangik : “Yen yaga ki ora keli, ning malah kalap ….”
menunjukkan bahwa secara halus masyarakat Jawa-patriarki mengingatkan akan potensi perempuan sebagai pemikat yang berujung pada kehancuran laki-laki (godaan Hawa pada Adam yang menyebabkan kejatuhan mereka ke bumi). Konotasi negatif ini perlu ditanamkan pada diri perempuan agar perempuan tidak menggunakan potensinya itu karena itu ‘tidak baik’. Sebenarnya ini menyembunyikan ketakutan laki-laki atas potensi besar perempuan yang telak memukul kelemahan laki-laki, yaitu libido.
selengkapnya klik di sini